Filosofi, Sub-nilai, dan Materi

  1. Filosofi Hamemayu Hayuning Bawana

Nilai utama mangasah mingising budi, memasuh malaning bumi dilandasi filosofi Hamemayu Hayuning Bawana. Dalam buku Profil Yogyakarta City of Philosophy yang ditulis oleh Umar Priyono dkk (2017) dijelaskan bahwa di Yogyakarta ada unsur-nsur budaya Jawa intangible yang masih terpelihara yaitu nilai-nilai luhur (value) dan keyakinan-keyakinan (beliefs) yang digunakan sebagai rencana atau pedoman perilaku atau adat serta untuk memecahkan masalah-masalah yang berlaku dari generasi ke generasi. Salah satu nilai budaya Jawa yang masih melekat pada kehidupan masyarakat Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana.

Kata hamemayu menurut (Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939: 75) berarti mbebecik atau gawe becik yaitu membuat baik, atau bisa juga diartikan masang payoning omah (memasang atap rumah). Kata hayu berarti: indah; cantik; selamat; baik (Kawi – Indonesia, Wojowasito, 1977: 1019). Kata bawana: jagat, buwana (Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939: 75) yang artinya dunia. Berdasarkan arti dari setiap kata tersebut kalimat hamemayu hayuning bawana dapat dimaknai beberapa pengertian. Pertama menjadikan baik keindahan dunia atau memperindah keindahan dunia, hal ini dilihat ketika hamemayu diartikan sebagai membuat baik dan hayu diartikan indah. Kedua dimaknai menjaga keselamatan dunia, hal ini didasari pada hamemayu diartikan memberikan atap atau menaungi, dan hayu diartikan selamat.

Dari uraian di atas Hemamayu hayuning bawana dapat dimanifestasikan sebagai sikap dan perilaku manusia yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam lingkungannya. Muara dari sikap Hamemayu hayuning bawana ini akan terwujud negara yang panjang, punjung, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kerta tur raharja (negara yang lestari, makmur, dan damai-sejahtera).

Hamemayu hayuning bawana merupakan salah satu ajaran sekaligus visi yang diusung oleh Sultan Hamengku Buwono I. Untuk mewujudkan hamemayu hayuning bawana seseorang harus menjalani nilai-nilai yang terkandung dalam dua ajaran yang amat penting, yaitu mangasah mingising budi dan memasuh malaning bumi. Mangasah mingising budi artinya mempertajam rasa, selalu mengolah ketajaman akal budi, sehingga tanggap terhadap sasmita (pertanda). Tanggap ing sasmita artinya menjalin komunikasi interpersonal tanpa batas dan tanggap terhadap gejala-gejala alam. Tanggap ing sasmita merupakan kecerdasan bertingkat, yakni (1) dhupak bujang, yaitu kemampuan memahami pada taraf rendah diibaratkan bujang (batur). Bujang harus diperintah secara langsung (tersurat), belum dapat memahami sasmita yang tersirat; (2) esem mantri, yakni kemampuan memahami seseorang dari hanya sekedar melihat senyum atasan, (3) semu bupati, memahami kehendak seseorang (pimpinan) dengan hanya melihat raut muka sang pemimpin. Hanya dengan melihat raut mukanya, orang cerdas telah mampu memahami kehendak sang pimpinan tersebut, (4) sasmita narendra, memahami perintah pimpinan dengan mampu menerjemahkan isyarat yang diberikan. Isyarat oleh sang raja ini dapat berupa berbagai macam, baik esem, semu, maupun laku.

Kecerdasan tanggap ing sasmita dapat difahami dalam konteks secara keseluruhan seperti unen-unen “jalma limpat seprapat tamat”. Pondasi personal inilah yang menjadi prasyarat untuk melakukan memasuh malaning bumi serta puncaknya Hamemayu Hayuniung Bawana. Memasuh malaning bumi artinya membersihkan kotoran bumi seperti segala nafsu duniawi, kejahatan, atau perilaku buruk. Memasuh malaning bumi, juga diartikan sebagai membersihkan semua hawa nafsu yang mengotori unsur jagad cilik, jiwa, dan raga. Hawa nafsu tidak akan membuat diri menjadi kotor selama digunakan sebagaimana mestinya, sesuai fungsinya dan kodratnya, dan tidak berlebihan dalam menuruti kemuannya (nuruti rahsaning karep) (Dinas Kebudayaan DIY, 2017: 37-38).

Hamemayu hayuning bawana dapat diartikan, “harmonisasi tri-matra yang mengatur hubungan antarmanusia, antara manusia dengan alam semesta, dan hubungan manusia sebagai insan ke hadapan Sang Khalik”. Atau bisa dimaknai “hablu minannas, hablu minal alamin, dan habluminallah”, yang pada intinya adalah kehidupan yang penuh harmoni. Implikasinya, subjek didik sebagai actor of change (bukan sekadar agent) harus sadar akan misinya untuk selalu memperbaiki diri (continuous improvement) melalui introspeksi dan evaluasi, agar tetap memberikan manfaat bagi masyarakat, sehingga siap merespons kemajuan zaman (sustainable). Jika diterapkan ke filsafat pendidikan, konsep PKJ adalah menjaga harmoni kurikulum dengan ekosistem budaya lokal yang mengajarkan kepedulian lingkungan. Maka, jika dipadukan dapat dikatakan nilai-nilai pendidikan yang diderivasikan dari Filsafat Pendidikan PKJ “Hamêmayu hayuning bawânâ” itu melahirkan substansi nilai “Harmoni”, sebuah langkah pembaharuan berkelanjutan jika harus selalu menyelaraskan kehidupan penuh harmoni.

Orang Jawa memandang konsep memayu hayuning bawana ini  tidak hanya sebagai falsafah hidup namun juga sebagai pekerti yang harus dimiliki setiap orang. Filosofi Memayu hayuning bawana juga kental terasa dalam ajaran kejawen. Memayu Hayuning Bawana memiliki relevansi dengan wawasan kosmologi Jawa atau kosmologi kejawen. Kejawen memiliki wawasan kosmos yang tidak lain sebagai perwujudan konsep Memayu hayuning bawana. Memayu hayunig bawana adalah ihwal space culture atau ruang budaya dan sekaligus spiritual culture atau spiritualitas budaya. Dipandang dari sisi space culture, ungkapan ini memuat serentetan ruang atau bawana. Bawana adalah dunia dengan isinya. Bawana adalah kawasan kosmologi Jawa. Sebagai wilayah kosmos, bawana justru dipandang sebagai jagad rame. Jagad rame adalah tempat manusia hidup dalam realitas. Bawana merupakan tanaman, ladang, dan sekaligus taman hidup setelah mati. Orang yang hidupnya di jagad rame menanamkan kebaikan kelak akan menuai hasilnya. Selain itu, Memayu hayuning bawana juga menjadi spiritualitas budaya. Spiritualitas budaya adalah ekspresi budaya yang dilakukan oleh orang Jawa di tengah-tengah jagad rame (space culture). Pada tataran ini, orang Jawa menghayati laku kebatinan yang senantiasa menghiasi kesejahteraan dunia. Realitas hidup di jagad rame perlu mengendapkan nafsu agar lebih terkendali dan dunia semakin terarah. Realitas hidup tentu ada tawar-menawar, bias dan untung rugi. Hanya orang yang luhur budinya yang dapat memetik keuntungan dalam realitas hidup. Dalam proses semacam itu, orang Jawa sering melakukan ngelmu titen dan petung demi tercapainya bawana tentrem atau kedamaian dunia. Keadaan inilah yang dimaksudkan sebagai hayu atau selamat tanpa ada gangguan apapun. Suasana demikian oleh orang Jawa disandikan ke dalam ungkapan Memayu hayuning bawana. Memayu hayuning bawana memang upaya melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun batin. Orang Jawa merasa berkewajiban untuk Memayu hayuning bawana atau memperindah keindahan dunia, hanya inilah yang memberi arti dari hidup. Di satu fisik secara harafiah, manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya. Sedangkan di pihak lain secara abstrak, manusia juga harus memelihara dan memperbaiki lingkungan spritualnya. Pandangan tersebut memberikan dorongan bahwa hidup manusia tidak mungkin lepas dari lingkungan. Orang Jawa menyebutkan bahwa manusia hendaknya arif lingkungan, tidak merusak dan berbuat semena-mena.

  1. Filosofi Manunggaling Kawula Gusti

Nilai utama mangasah mingising budi, memasuh malaning bumi juga dilandasi filosofi manuggaling kawula Gusti salah satu idiom Jawa yang sering diajarkan dalam budaya Jawa dan diterpakan oleh orang Jawa. Di lihat dari arti kata yang ada ‘manunggal’ berarti ‘menyatu’, ‘kawula’ bisa berarti ‘makhluk ciptaan’, ‘abdi’, ‘rakyat’. (Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939: 75).  Kata ‘Gusti’ berarti penyebutan untuk Tuhan atau orang-orang luhur (contoh raja). Oleh orang Jawa idiom mangguling kawula Gusti dapat dimaknai dengan dua jalur, yaitu jalur vertikal dan horizontal.

Jalur vertikal dimaknai sebagai hubungan antara manusia dengan Tuhan. Secara harfiah istilah Manunggaling Kawula Gusti dimaknai sebagai bersatunya antara hamba dengan Tuhan, yang dimaksudkan bersatu disini bukanlah bersatunya zat tetapi bersatunya kehendak manusia dengan kehendak Tuhan. Atau bisa juga diartikan sebagai kehendak manusia harus sesuai dengan kehendak Tuhan, sehingga apapun yang diperintahkan oleh Tuhan harus dijalankan oleh hambaNya (manusia).

Jalur horizontal dimaknai sebagai hubungan antara seorang pemimpin dengan bawahannya. Hal ini bisa dimanifestasikan hubungan antara pemimpin negara (contoh: raja) dengan rakyatnya, atau pada instansi maupun organisasi lainnya. Bersatunya antara raja dan rakyatnya, yaitu bersatunya kehendak raja dengan kehendak rakyatnya. Hal ini mengajarkan bahwa seorang raja meskipun berkuasa tidak seharusnya semena-mena mempunyai keputusan tanpa mempertimbangkan atau melihat kebutuhan dan kepentingan rakyatnya. Hal tersebut juga bisa diterapkan dalam perspektif hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin.

Dalam dunia pendidikan khususnya di sekolah, penerapan manunggaling kawula gusti dapat diejawantahkan pada hubungan antara Kepala Sekolah dengan guru dan warga sekolah, hubungan antara guru dengan siswa, hubungan antara ketua OSIS dengan semua siswa sebagai anggota OSIS, dan organisasi-organisasi lain yang ada di dalam lingkungan sekolah.

Dalam pembelajaran  antara siswa dan guru harus  manunggal “menyatu”, yakni manunggal dalam tujuan, materi, proses pembelajaran, evaluasi, refleksi, dan tindak lanjut.  Kesatuan tujuan akan menghantarkan siswa dalam upaya mencapai kompetensi yang harus dikuasai. Kesatuan materi merupakan konten kompetensi yang akan dicapai. Proses pembelajar merupakan kegiatan nyata interaksi antara siswa dan guru dalam upaya mencapai tujuan atau meraih kompetensi.

Proses kegiatan pembelajaran dari awal hingga akhir ini adalah proses mangasah mingising budi. Ketika siswa sudah mengimplementasikan mangasah mingising budi dalam kehidupannya akan menjadi bekal untuk memasuh malaning bumi. Dan ketika siswa sudah mangasah mingising budi  dan memasuh malaning bumi maka akan bisa untuk mencapai pada manunggaling kawula gusti. Dengan mempunyai bekal ketajaman akal dan budi yang merupakan hasil dari mangasah mingising budi maka akan bisa memasuh malaning bumi yang merupakan wujud untuk bisa manunggaling kawula Gusti, melaksanakan kehendak Tuhan sebagai Penguasa Semesta Raya.

  1. Sub Nilai

Nilai (bahasa Inggris: value) dapat diartikan sebagai harga, penghargaan, atau taksiran. Artinya yaitu harga atau penghargaan yang melekat pada suatu objek. Objek yang dimaksud dalam hal ini bisa berbentuk benda, barang, keadaan, perbuatan, perilaku, atau peristiwa lainnya.

Dengan kata lain, nilai dapat diartikan sebagai suatu bentuk penghargaan serta keadaan yang bermanfaat bagi manusia sebagai penentu dan acuan dalam menilai dan melakukan suatu tindakan. Dengan mengacu pada sebuah nilai, seseorang bisa menentukan bagaimana ia harus berbuat dan bertingkah laku yang baik sehingga tidak menyimpang dari definisi norma-norma sosial yang berlaku.

Hamemayu hayuning bawana diwujudkan dalam nilai-nilai yang terkandung pada dua ajaran yang amat penting, yaitu mangasah mingising budi dan memasuh malaning bumi. Secara antropologis, mangasah mingising budi dan memasuh malaning bumi itu akan bermuara pada pembentukan Jalma kang utama, sarira bathara atau insan kamil, manusia paripurna yang menggambarkan sejati-jatining satriya yang melahirkan nilai-nilai humanisme. Nilai-niai budaya dalam kelompok ini adalah: (a) moral; (b) pendidikan; pengetahuan, dan teknologi; (c) adat dan tradisi; (d) kesenian, (e) kejujuran, (f) kerendahan hati, dan (g) kepedulian.

  • Moral

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia versi online kata moral berarti ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral merupakan standar perilaku yang memungkinkan setiap orang untuk dapat hidup secara kooperatif dalam suatu kelompok. Nilai moral ini mempunyai indikator, di antaranya:

  1. Menunjukkan sikap hormat (ngapurancang, menujukkan dengan jempol)
  2. Menganalisis perbuatan baik yang patut diconto
  3. Bertindak benar sesuai dengan aturan Bener, tindak nora bengkok

  • Pendidikan; pengetahuan dan teknologi;

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia versi online kata ‘pendidikan’ berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pengetahuan berarti segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan sesuatu hal (contohnya mata pelajaran). Teknologi adalah metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis.

Pada nilai pendidikan, pengetahuan dan teknologi mempunyai beberapa indicator, yaitu:

  1. Mengaji ilmu pengetahuan dengan menggunakan pendekatan saintifik seperti pepatah,dibya amumpuni agal rungsit
  2. Menemukan unsur-unsur pendidikan pada dimensi kebudayaan (pikir, tindak, material)
  3. Menjadi pelopor pembaruan bagi lingkungan sekitar (berpikir tajdid)

 

  • Adat dan tradisi

Adat adalah aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. 

Nilai adat dan tradisi mempunyai indikator sebagai berikut:

  1. Mengapresiasi upacara adat dan tradisi
  2. Menemukan makna simbolik (filosofis) pada upacara adat dan tradisi

  • Kesenian

Kesenian adalah salah satu bagian dari kebudayaan yang dikagumi karena keunikan dan keindahannya. Kesenian merupakan hasil karya seni manusia yang mengungkapkan keindahan serta merupakan ekpresi jiwa dan budaya penciptanya. Kesenian merupakan bagian dari budaya dan sarana yang digunakan untuk mengekpresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia, keindahannya juga mempunyai fungsi lain. Ragam kesenian yang ada tersebut diantaranya adalah seni musik, seni rupa, seni teater, seni sastra dan seni tari.

Nilai kesenian mempunyai indikator sebagai berikut:

  1. Mengapresiasi seni (lagu dolanan, tembang, pedhalangan, ketoprak, seni lukis, seni kriya, batik) dengan menerapkan sariswara
  2. Kreatif (Tri Sakti, Cipta-Rasa-Karsa)
  3. Melakukan lomba ngadi sarira, ngadi busana

  • Kejujuran

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kejujuran adalah sifat (keadaan) jujur yaitu lurus hati; tidak berbohong (misalnya dengan berkata apa adanya).

Nilai kejujuran mempunyai indikator sebagai berikut:

  1. Menyatakan sesuatu yang sebenarnya didukung fakta (bukti)
  2. Menunjukkan satunya kata dan perbuatan.
  3. Peserta didik memiliki kebiasaan melakukan reflektif terhadap diri sendiri (Intiqad: self correction), lingkungan sekitar, dan alam semesta dengan menerapkan Tri Ko Kooperatif, Konsultatif, dan Korektif

 

  • Kerendahan hati

Kerendahan hati artinya suatu sikap menyadari keterbatasan kemampuan diri, dan ketidakmampuan diri sendiri, sehingga dengannya seseorang tidaklah mengangkuh, dan tidak pula menyombong.

Nilai kerendahan hati mempunyai indikator sebagai berikut:

  1. Menghormati orang lain
  2. Lembah manah ‘tidak sombong)

  • Kepedulian

Kepedulian adalah sikap peduli atau mengindahkan, dapat juga diartikan memperhatikan.

Nilai kepedulian mempunyai indikator sebagai berikut;

  1. Menghargai prestasi orang lain
  2. Menunjukkan sikap empati kepada orang lain ‘among dan momong’
  3. Berperilaku ramah
  4. Melakukan kerja bakti atau gotong royong sehingga mencintai lingkungan