Teman-teman, tahu ga sih? Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi sumber utama informasi dan komunikasi bagi remaja. Namun, bagi remaja dari kalangan ekonomi lemah, media sosial tidak hanya menjadi sarana untuk terhubung dengan dunia luar, tetapi juga sumber yang memperparah sikap intoleransi.

Media sosial memberikan ruang bagi remaja untuk mengakses informasi tanpa batas. Namun, bagi remaja dari keluarga ekonomi lemah, media sosial juga dapat menjadi medan yang memperburuk ketidakpuasan sosial. Di tengah keterbatasan ekonomi, mereka sering kali merasa tidak memiliki kesempatan yang setara dengan kelompok lain. Dalam situasi seperti ini, media sosial menjadi lahan subur untuk menyerap narasi intoleransi yang menyalahkan kelompok tertentu sebagai penyebab ketidakadilan yang mereka alami.

Platform-platform digital juga dipenuhi oleh konten yang tidak terverifikasi atau narasi-narasi radikal yang dapat memperkuat sikap intoleran. Algoritma media sosial cenderung memperkuat pandangan yang sudah dianut pengguna, menciptakan echo chamber di mana remaja hanya terpapar pandangan serupa, yang memperkuat kebencian atau prasangka terhadap kelompok lain. Tanpa pemahaman kritis, remaja dari keluarga ekonomi lemah rentan terpengaruh oleh konten negatif ini dan secara bertahap mengadopsi sikap yang intoleran.

Remaja yang paling rentan terhadap pengaruh negatif media sosial terkait intoleransi umumnya adalah mereka yang merasa terpinggirkan secara sosial dan ekonomi. Remaja yang berasal dari keluarga dengan keterbatasan finansial sering kali tidak memiliki akses ke pendidikan yang memadai, yang dapat membekali mereka dengan keterampilan berpikir kritis dan literasi digital.

Selain itu, remaja yang hidup di lingkungan dengan ketidakstabilan sosial—seperti pengangguran tinggi, kriminalitas, atau keterbatasan akses terhadap sumber daya dasar—cenderung lebih rentan. Dalam kondisi ini, media sosial sering kali menjadi satu-satunya saluran di mana mereka merasa didengar, sehingga mereka lebih mudah dipengaruhi oleh narasi yang mengangkat rasa ketidakadilan dan kebencian terhadap kelompok yang berbeda.

Tanda-tanda intoleransi pada remaja dari kalangan ekonomi lemah biasanya mulai muncul ketika mereka secara teratur terpapar konten yang mempromosikan kebencian atau diskriminasi. Proses ini bisa terjadi secara bertahap seiring dengan semakin intensnya interaksi mereka di media sosial. Remaja sering kali memulai dengan mengikuti akun-akun atau komunitas daring yang menyebarkan narasi radikal atau diskriminatif.

Gejala awalnya dapat berupa perubahan sikap terhadap kelompok tertentu, penggunaan bahasa yang keras atau kasar di media sosial, hingga penyebaran atau pembagian konten yang bersifat intoleran. Dalam jangka panjang, sikap ini bisa berkembang menjadi pandangan yang ekstrem jika tidak diintervensi secara tepat oleh orang tua, pendidik, atau lingkungan sosial yang positif.

Remaja dari kalangan ekonomi lemah paling sering terpapar konten intoleransi di platform media sosial populer seperti Facebook, TikTok, Instagram, YouTube, dan Twitter. Di sini, konten intoleransi sering kali dikemas dalam bentuk video, meme, atau postingan yang menargetkan emosi remaja, seperti rasa frustrasi, ketidakadilan, atau ketakutan terhadap perbedaan.

Selain itu, forum-forum tertutup atau grup perpesanan seperti WhatsApp atau Telegram juga sering digunakan untuk menyebarkan narasi intoleransi. Remaja yang tergabung dalam grup-grup semacam ini lebih cenderung terpapar informasi ekstremis yang terisolasi dari pandangan-pandangan yang lebih moderat atau inklusif. Konten semacam ini sering kali tidak terdeteksi oleh pengawasan platform dan bisa menyebar dengan cepat tanpa filter.

Remaja dari keluarga ekonomi lemah lebih rentan terpengaruh oleh konten intoleransi karena mereka sering kali menghadapi situasi hidup yang lebih sulit dan merasa terpinggirkan secara sosial. Ketidakmampuan untuk mengakses sumber daya yang setara dengan remaja dari keluarga ekonomi lebih baik menciptakan perasaan frustrasi dan kecemburuan. Media sosial menyediakan narasi yang menawarkan solusi sederhana untuk masalah kompleks, seperti dengan menyalahkan kelompok tertentu atas ketidakadilan yang mereka alami.

Juga, remaja dari keluarga ekonomi lebih baik biasanya memiliki akses ke pendidikan yang lebih berkualitas dan paparan terhadap berbagai pandangan yang berbeda. Mereka lebih mungkin mendapatkan bimbingan untuk memahami perbedaan sosial, serta lebih banyak terlibat dalam aktivitas yang mendukung keberagaman. Sebaliknya, remaja dari keluarga miskin mungkin tidak mendapatkan panduan yang sama, sehingga lebih mudah terpengaruh oleh konten yang bersifat intoleran atau ekstrem.

Media sosial mempengaruhi pola pikir dan sikap remaja miskin terhadap kelompok lain melalui beberapa cara. Pertama, media sosial memungkinkan mereka terpapar secara konstan pada konten yang menegaskan prasangka atau stereotip tertentu. Konten-konten ini sering kali disajikan dengan narasi emosional yang kuat, memicu rasa ketidakadilan atau kebencian yang sudah ada sebelumnya.

Media sosial juga memperkuat rasa identitas kelompok. Remaja yang merasa terasingkan di dunia nyata bisa menemukan dukungan dan pengakuan di komunitas daring yang menguatkan rasa kebersamaan mereka dengan cara menyalahkan atau membenci kelompok lain. Sikap intoleransi pun berkembang karena remaja mulai melihat kelompok lain sebagai ancaman atau musuh.

Media sosial memainkan peran signifikan dalam membentuk sikap intoleransi di kalangan remaja dari keluarga ekonomi lemah. Keterbatasan pendidikan dan akses informasi yang seimbang membuat remaja miskin lebih rentan terhadap narasi intoleran yang beredar di platform-platform digital. Pentingnya literasi digital dan keterlibatan aktif dari keluarga serta komunitas dalam mengarahkan penggunaan media sosial dapat menjadi solusi untuk mencegah berkembangnya sikap intoleransi di kalangan remaja yang terpapar kondisi ekonomi sulit. (rl, sa, skr, shaf)