Sobat SMANSey, seperti kita di era digital saat ini, media sosial telah menjadi platform utama untuk berkomunikasi, berbagi informasi, dan berinteraksi. Namun, bersamaan dengan kemampuannya dalam menghubungkan masyarakat secara global, media sosial juga menjadi alat yang efektif dalam menyebarkan intoleransi, terutama di kalangan remaja. Intoleransi berbasis agama, ras, etnis, hingga gender semakin sering ditemui di dunia maya. Meski demikian, ada juga harapan positif bahwa media sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk memberantas intoleransi dan mempromosikan toleransi serta inklusi.

Remaja, sebagai kelompok pengguna aktif media sosial, sering kali terlibat dalam praktik-praktik intoleransi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu contoh yang umum adalah cyberbullying berbasis perbedaan agama, ras, atau identitas gender. Misalnya, seseorang mungkin menjadi target serangan verbal atau ejekan karena memiliki keyakinan agama tertentu atau berasal dari latar belakang etnis yang berbeda.

Selain itu, penyebaran hoaks atau informasi yang menyesatkan yang mengandung ujaran kebencian juga menjadi fenomena yang kerap terjadi di media sosial. Banyak remaja yang tidak menyadari dampak dari membagikan konten bermuatan kebencian, yang pada akhirnya memperkuat siklus intoleransi di kalangan mereka.

Beberapa faktor berkontribusi terhadap meningkatnya intoleransi, terutama di dunia maya. Salah satu penyebabnya adalah anonymity (anonimitas) yang ditawarkan oleh media sosial. Pengguna sering kali merasa lebih bebas untuk mengungkapkan pandangan negatif atau bahkan menyebarkan ujaran kebencian karena merasa identitas mereka tidak dapat dilacak. Ditambah dengan algoritma media sosial, yang sering kali memprioritaskan konten yang memicu emosi negatif untuk meningkatkan interaksi, konten intoleran lebih mudah menjadi viral.

Selain itu, polaritas sosial-politik di berbagai negara juga berperan dalam memperkuat intoleransi. Kampanye politik berbasis perpecahan sering menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebencian atau memperkuat stereotip negatif, yang kemudian diserap oleh pengguna, termasuk remaja.

Peran Media dalam Menyebarkan atau Mengurangi Intoleransi

Media sosial memiliki dua sisi dalam hal intoleransi. Di satu sisi, platform seperti Twitter, Facebook, dan TikTok dapat menyebarkan intoleransi dengan cepat karena aksesibilitasnya yang luas dan kecepatan distribusi informasi. Dalam beberapa kasus, ujaran kebencian atau hoaks menyebar begitu cepat sebelum moderator platform atau pengguna lain dapat menghapusnya atau menanggapinya.

Namun, media sosial juga memiliki potensi besar untuk mengurangi intoleransi. Banyak influencer atau komunitas online yang berfokus pada kampanye toleransi dan inklusi. Misalnya, kampanye dengan tagar seperti #NoToRacism atau #LoveIsLove telah berhasil memobilisasi jutaan pengguna untuk menentang segala bentuk diskriminasi. Selain itu, platform media sosial juga telah meningkatkan upaya untuk menekan intoleransi dengan meningkatkan moderasi konten dan memberikan fasilitas bagi pengguna untuk melaporkan ujaran kebencian.

Intoleransi di media sosial mulai menjadi perhatian serius dalam satu dekade terakhir, seiring dengan meningkatnya penggunaan internet dan media sosial di kalangan remaja. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus besar seperti serangan rasial dan penyebaran kebencian agama di berbagai negara telah memicu perdebatan mengenai peran platform teknologi dalam mengendalikan atau menyebarkan intoleransi. Peningkatan radikalisasi, terutama di kalangan anak muda melalui konten online yang memecah belah, juga mulai meresahkan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan organisasi sosial.

Remaja adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap dampak intoleransi. Mereka sering kali menjadi sasaran atau pelaku karena masa-masa remaja merupakan periode di mana identitas mereka masih dalam proses pembentukan. Pengalaman negatif di media sosial, seperti dirundung atau diolok-olok karena identitas mereka, dapat berdampak jangka panjang pada kesehatan mental, harga diri, dan hubungan sosial mereka.

Selain itu, kelompok minoritas secara umum, seperti orang-orang dari ras atau agama tertentu, atau mereka yang termasuk dalam komunitas LGBTQ+, sering kali menjadi target utama intoleransi di media sosial.

Intoleransi yang terus berkembang di kalangan remaja bisa berdampak negatif secara luas. Selain meningkatkan risiko depresi dan kecemasan, intoleransi juga bisa menyebabkan pemisahan sosial dan keterasingan di kalangan anak muda. Mereka yang menjadi korban bisa merasa kurang berdaya dan bahkan takut untuk mengekspresikan diri, sedangkan mereka yang terlibat sebagai pelaku mungkin semakin terperosok dalam siklus kebencian dan ekstremisme.

Meskipun media sosial sering disalahkan karena menyebarkan intoleransi, ada juga potensi besar untuk menggunakan platform ini dalam mempromosikan toleransi dan inklusi. Media sosial dapat menjadi alat untuk edukasi dan penyadaran yang lebih luas mengenai bahaya intoleransi. Kampanye global untuk melawan rasisme, homofobia, dan segala bentuk diskriminasi telah menunjukkan bahwa media sosial bisa menjadi alat yang kuat untuk perubahan positif.

Di samping itu, komunitas-komunitas online yang berfokus pada inklusi sosial, dukungan mental, dan dialog antar kelompok semakin berkembang. Kehadiran influencer yang mempromosikan pesan-pesan positif juga membantu dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi dan empati di kalangan pengikut mereka.

Media sosial memiliki peran ganda dalam menyebarkan dan mengurangi intoleransi. Remaja, sebagai pengguna yang paling rentan, dapat terkena dampak negatif dari intoleransi, tetapi juga memiliki kekuatan untuk menjadi agen perubahan dengan memanfaatkan platform ini secara positif. Dengan edukasi yang tepat dan penggunaan media sosial yang bertanggung jawab, ada harapan bahwa intoleransi dapat ditekan dan toleransi semakin berkembang di dunia digital. (kun_litbang)