Beberapa literatur menyebutkan Tari Jaranan Buto berasal dari Dusun Cemetuk, Desa Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Letak kabupaten ini hanya sebatas wilayah kecamatan Gambiran. Kondisi di kawasan itu mempengaruhi masyarakat Dusun Cemetuk budaya Mataraman Jawa wilayah Gambira.
Kebanyakan orang Gambia masih memiliki silsilah keluarga Mataram. Kesenian Jarana Buto lahir sebagai bentuk artikulasi budaya yang unik. Kesenian ini memadukan budaya Osing (budaya suku asli banyuwangi) dengan budaya Jawa Mataraman. Nama Jaranan Buto diambil dengan mengadopsi tokoh legendaris Minakjinggo. Minakjinggo diyakini adalah orang berkepala raksasa yang disebut “buto” dalam bahasa Jawa. Penggunaan tapal kuda dalam kesenian ini membawa makna filosofis semangat juang, sikap kesatria dan kerja keras yang tak kenal lelah dalam segala kondisi. Properti Tari Jarana Buto Tari Jarana Buto menggunakan properti Jarana buatan seperti yang digunakan dalam kesenian tradisional Jarana Kepang, Tari Kuda Lumping atau Tari Jathilan. Bedanya, fitur yang digunakan sebenarnya tidak menyerupai bentuk kuda. Kuda yang digunakan mempunyai muka atau kancing raksasa. Pemain juga memakai riasan seperti raksasa berwajah merah, gigi lancip, mata besar, dan rambut gimbal panjang. Penampilan pemain Jarana Buto secara keseluruhan menggambarkan sosok raksasa yang kuat dan mengintimidasi. Tari Jaranan Buto biasanya dipentaskan antara pukul 10.00 hingga 16.00 WIB. Jumlah penarinya kurang lebih 16-20 orang penari yang terbagi dalam delapan kelompok. Tari Jaranan Buto diiringi dengan berbagai alat musik seperti terompet kempul, dua bonang, gendang, gong besar dan kecer yang terbuat dari tembaga, sehingga mirip gamelan. Semua penari menari di atas replika kuda yang dianyam. Selama pertunjukan, penari mengalami kesurupan sambil memakan gelas tersebut hingga ayamnya hidup.

.