DALAM sepuluh tahun terakhir, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menggencarkan penerapan Pendidikan Berbasis Budaya untuk jenjang PAUD/TK hingga SMA. Pemda telah menerbitkan Perda No 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya dan Pergub No 66 Tahun 2013 tentang Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY mendampingi sekolah-sekolah di DIY untuk menerapkan Pendidikan Berbasis Budaya dengan menyediakan perangkat pembelajaran dan buku teks hingga penunjang pembelajaran. Simultan dengan penerapan Pendidikan Berbasis Budaya, Dewan Pendidikan DIY juga menggagas Pendidikan Kejogjaan dimulai pada 2019. Pendidikan Khas Ke–Jogja-an bertujuan mewujudkan peradaban baru yang unggul untuk menghasilkan manusia Indonesia, khususnya Yogyakarta, yang utama (jalma kang utama), yaitu manusia yang taat kepada Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, rasa keadilan, merdeka lahir-batin serta selalu menumbuhkan keselarasan (harmoni) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (Hari Dendi, Dewan Pendidikan DIY, 2019). Generasi unggul yang utama (jalma kang utama) adalah generasi yang berbakti kepada Tuhan YME, cinta alam, cinta negara, cinta dan hormat kepada ibu-bapak, cinta bangsa dan kebudayaan, keterpanggilan memajukan negara sesuai kemampuannya.
Selain itu, memiliki kesadaran sebagai bagian integral dari keluarga dan masyarakat, patuh pada peraturan dan ketertiban, membangun kepercayaan diri, mengembangkan sikap saling mengerti dan saling menghormati atau sikap toleransi atas dasar keadilan, rajin bekerja, kompeten dan jujur, baik dalam pikiran maupun tindakan. Yogyakarta memiliki kearifan lokal yang dikelompokkan dalam nilai-nilai filosofi (Core-Beliefs) dan nilai-nilai budaya (Core-Values). Yang termasuk Core-Beliefs adalah: Sangkan-paraning dumadi, Hamêmayu-hayuning bawânâ, Manunggaling kawulâ-Gusti (dalam dimensi vertikal). Sedangkan yang termasuk kelompok Core-Values adalah: Mangasah-mingising budi, mêmasuh-malaning bumi, Sawiji, grêgêt, sêngguh, ora-mingkuh, Pamênthanging gandhéwâ, pamênthênging ciptâ dan Manunggaling kawulâ-gusti (sikap golong-gilig dalam dimensi horisontal)
Nilai-nilai itu dibagi dalam tiga tataran. Pertama, nilai dasar, bersifat abstrak dan tetap, terlepas dari pengaruh perubahan waktu dan tempat dengan kandungan kebenaran bagaikan aksioma yang tak terbantahkan. Kedua, nilai instrumental, bersifat kontekstual dengan tuntutan zaman, penjabaran nilai dasar sebagai arahan untuk kurun waktu dan kondisi tertentu, namun tetap mengacu pada nilai dasar sebagai sumbernya. Dari kandungan isinya, nilai instrumental ter-institusionalisasi ke dalam paradigma, sistem, kebijakan, strategi, pengorganisasian, rencana, atau program yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Ketiga, nilai praksis, terekspresikan dalam cara masyarakat pendidikan mewujud-nyatakan nilai-nilainya itu ter-internalisasi menjadi sebuah kebiasaan (habituating).
Dari kandungan isinya, merupakan gelanggang pertarungan antara nilai-nilai ideal (what-is) dan aktual (what-for). Nilai-nilai filosofi dapat dirumuskan dengan argumen logis dan konsisten terhadap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Tetapi, jika rumusan nilai praksisnya tidak dapat diaktualisasikan, maka filosofi itu akan kehilangan legitimasi. Modal penerapan pendidikan Ke-Jogja-an Penerapan pendidikan khas Ke-Jogja-an, memiliki modal awal dan utama, yakni realitas kebudayaan yang hadir di Yogyakarta sebagai suatu kebudayaan yang hidup (living culture) dan berkembang dari dulu-kini-nanti.
Ketiga aktor itu kemudian menjadi pilar penyangga utama pendidikan khas Ke-Jogja-an. Mengapa Kraton dan Kaprajan (Pemerintahan) disatukan, karena berdasarkan UU Keistimewaan DIY Nomor 13 Tahun 2012, kedua entitas itu bagaikan Dwi-Tunggal yang tak terpisahkan. Dalam perkembangannya, kerja sama sinergis 3K itu ditambahkan dengan unsur komunitas profesional menjadi 4K (Kraton/Kaprajan, Kampus, Kampung, dan Komunitas Profesional). Sementara dari Kraton kita mengenal sejumlah nilai-nilai filosofi (core-beliefs) dan nilai-nilai budaya (core-values) yang kemudian direspons secara kritis oleh rakyat kampung dan diolah menjadi pikiran kritis ilmiah oleh Kampus, dan jadilah harmoni Peradaban “Kraton-Kampung-Kampus”, sebagai modal utama pendidikan khas ke-Jogja-an yang sarat unsur dinamika.
Budaya harmoni dalam kehidupan dan penghidupan bangsa. Harmoni merupakan produk akhir dari sinergi, konvergensi, interaksi antarruang dan waktu. Memang, implementasinya tidak bisa mengabaikan pihak-pihak yang selama ini berperan aktif dalam pendidikan di DIY, yang berawal dari pendidikan di Kraton (pawiyatan), pesantren (masa Hindu: padépokan, Budha: vihara), Muhammadiyah (madrasah), Tamansiswa (paguron) dan pendidikan Barat (schooling). Kesemua unsur itu bila dikelola dengan baik akan menjadi modal utama yang mendukung kesuksesannya. Sebagian kalangan memandang pihak-pihak terkait tersebut menjadi modal dasar implementasi pendidikan khas Ke-Jogja-an.
Pendidikan Ke-Jogjaan-an menjawab tantangan zaman Peradaban baru kita sedang menghadapi tantangan disruptif-inovatif akibat Revolusi Industri 4.0. Untuk itu diperlukan penguatan pendidikan karakter yang mengembangkan nilai-nilai inti pendidikan khas Ke-Jogja-an. Profil lulusan yang digambarkan sebagai Jalma Kang Utama, memiliki tiga kompetensi, yaitu: kompetensi teknis, kompetensi etika (yang diambil dari nilai-nilai kas Ke-Jogja-an), dan kompetensi komunikasi. Pendidikan Ke-Jogja-an adalah pendidikan karakter yang merupakan suatu sistem penanaman nilai kepada peserta didik. Pendidikan karakter dapat dikatakan sebagai pendidikan budi pekerti dan pendidikan nilai moralitas manusia. Proses pembentukan nilai dan sikap secara sadar penting untuk ditumbuh-kembangkan kedalam tindakan nyata dalam proses pembelajaran. Proses ini melibatkan unsur kognitif (pikiran, pengetahuan, dan kesadaran), unsur afektif (perasaan) dan juga unsur psikomotorik (perilaku/tindakan).
Hal ini ditegaskan oleh Thomas Lickona (2012) bahwa tanpa ketiga aspek di atas pendidikan karakter tidak akan efektif. Sehingga pelaksanaannya harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan untuk mencapai pembentukan karakter yang dikehendaki. Untuk dapat mendampingi peserta didik yang menguasai keterampilan di atas, dibutuhkan pendidik yang berjiwa pembelajar, kreatif dan inovatif, serta memiliki kemampuan untuk menjadi fasilitator pembelajaran multi sumber. Tugas pendidik tidak hanya sebatas mentransfer pengetahuan, namun juga membangun motivasi dan karakter peserta didik menjadi insan yang berintegritas, kreatif–inovatif dan mampu menjawab tantangan zamannya. Pendidikan Ke-Jogja-an adalah pendekatan pembelajaran yang dirancang untuk mendidik demi berkembangnya pengetahuan, keterampilan dan karakter peserta didik agar mampu menghadapi dan beradaptasi di era.
Revolusi Industri 4.0. Pendidikan Ke-Jogja-an adalah pendekatan pembelajaran yang dirancang untuk mendidik demi berkembangnya pengetahuan, keterampilan dan karakter peserta didik agar mampu menghadapi dan beradaptasi di era Revolusi Industri 4.0. Pendidikan karakter kontekstual Ke-Jogja-an hendaknya menghasilkan praktik baik kebudayaan yang bisa menjadi pedoman tingkah laku bagi masyarakat Yogyakarta secara luas. (kun_litbang)